Ragam Aspek Kehidupan Erna Witoelar
Pemimpin organisasi masyarakat sipil serba bisa ini membagikan kisah hidupnya dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Erna Witoelar paling tepat diibaratkan seperti kekuatan alam. Energi, semangat, dan komitmennya terhadap problematika masyarakat dan rasa keadilan – semuanya seolah berebut untuk didengar. Perjalanan karirnya mungkin dari dulu telah menguras tenaga sebagian besar orang lain. Aktivis, pendiri LSM, pegiat lingkungan hidup, perlindungan konsumen dan kesetaraan perempuan, menteri, pejuang keadilan sosial, dan pemimpin baik di tingkat nasional maupun internasional.
Ironisnya, orang tua nya menginginkan Erna untuk menjadi seorang insinyur kimia, yang mana ia ikuti dengan menyelesaikan studinya di Institut Teknologi Bandung. ‘Namun, kehidupan kemahasiswaan saya ternyata mengarahkan menjadi aktivis’ ujarnya. ‘Saya bergabung dengan berbagai organisasi, memimpin demonstrasi anti pemerintah dan menjadi wanita pertama yang memimpin organisasi mahasiswa lokal. Saya rasa, saya tahu saat itu bahwa misi saya dalam hidup ini adalah untuk menggalang solidaritas, berusaha memfasilitasi masyarakat dalam penyelesaian konflik serta memperjuangkan hak dan kesetaraan.’
Kehidupan kemahasiswaan yang mendorongnya untuk memasuki berbagai kegiatan organisasi masyarakat sipil. Langsung setelah menyelesaikan studinya di ITB, Erna mulai bekerja di Yayasan Konsumen Indonesia, dan tak lama kemudian berlanjut ke organisasi konsumen dan lingkungan hidup internasional.
Semangat energetiknya dapat menimbulkan persepsi bahwa Ia adalah seorang yang “keras”. Walaupun terkesan tegas dan pandai mengutarakan pendapatnya, Ia sering dihadapkan dengan tantangan yang berbeda. ‘Saya sering dihadapkan dengan konflik – terkadang dalam bentuk permintaan perlindungan dan terkadang dalam bentuk diskriminasi. Ketika saya masih dalam usia muda, respon yang secara langsung saya lakukan adalah dengan konfrontasi, namun seiring berjalannya waktu, saya dapat memilih bahwa pertemanan, persuasi dan pemahaman jauh lebih baik dalam menanggapi agresi dan pertentangan.
Sikap ini sangat berharga khususnya di tingkat internasional, dalam kiprah pertamanya sebagai Presiden Konsumen Internasional. Pada tahun 1983, kepeduliannya terhadap Indonesia, perannya sebagai seorang pemimpin masyarakat sipil dan keprihatinannya terhadap lingkungan hidup bersatu, bersamaan dengan terbentuknya Brundtland Commission. Terbentuknya organisasi ini merupakan upaya PBB untuk menanggapi keterancaman lingkungan dan sumber daya alam akibat degradasi yang parah. Momentum ini kemudian menjadi awal dari gerakan pembangunan berkelanjutan global. ‘Ini adalah titik balik kesadaran saya’ kata Erna. ‘Saya sadar akan isu-isu terkait lingkungan secara umum, karena latar belakang saya, dan saya memiliki akses, kontak, jaringan dan pengaruh yang membuat saya melihatnya sebagai misi saya untuk membawa isu-isu tanah air ke tingkat dunia, serta sebaliknya membawa prinsip pembangunan berkelanjutan global ke Indonesia.’
‘Pertemuan pertama diselenggarakan di Indonesia, ketika Menteri LH saat itu bapak Emil Salim meminta saya untuk mengumpulkan sekelompok LSM untuk berdiskusi dengan Brundtland Commission’ lanjut Erna. ‘Saya menjelaskan bahwa teman-teman sudah enggan mendengarkan sebuah ceramah. Apa yang mereka inginkan adalah memiliki suara. Suara masyarakat awam. Dan kami menjadikannya untuk menjadi kenyataan, membahas segala isu terkait keberlanjutan, seperti isu gender, lingkungan hidup, hak buruh, dan isu-isu kampanye lainnya. Brundtland Commission sendiri ingin mengetahui dan terinspirasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan oleh masyarakat awam. Menurut saya ini telah menjadi sebuah model untuk kerja Komisi di seluruh di dunia yang kemudian mengarah pada penerbitan “Our Common Future”. yang menjadi awal dari lahirnya istilah ‘pembangunan berkelanjutan’. Istilah ini memberikan definisi secara umum tetapi masih relevan hingga saat ini yaitu – ‘jenis pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya.”
Erna kemudian terpicu untuk mengambil pasca sarjana di bidang Ekologi Manusia, dan setelah empat tahun berada di Rusia, saat suaminya menjabat sebagai Duta Besar, ia kembali ke lingkungan politik yang sudah berbeda. Meskipun ia adalah seorang “apolitis” sepanjang hidupnya, namun Erna terpilih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Ketika Presiden ke-empat Indonesia, Abdurrachman Wahid menjabat, beliau memintanya untuk menjadi Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah. ‘Saat itu disebut sebagai Kementerian Pekerjaan Umum’ ujar Erna, ‘namun saya ingin menjadikan masyarakat sebagai pusat dari pembangunan, sehingga saya mengganti nama kementrian tersebut. Tujuan saya antara lain memasukkan kepedulian lingkungan hidup, pemberantasan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Saya melihatnya sebagai satu tugas, dibingkai oleh keadilan sosial, dan direalisasikan dalam pembentukan dan perbaikan infrastruktur.’
Era tersebut merupakan satu-satunya waktu di mana Erna hanya memiliki satu pekerjaan. Mendirikan antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dana Mitra Lingkungan (DML), Partnership for Governance Reform Indonesia (PGRI), Gerakan Ciliwung Bersih (GCB) dan Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YIPD). Sangatlah wajar jika waktu lowongnya untuk jalan-jalan dan berkumpul dengan keluarga menjadi berkurang. Namun kenyataannya Erna bekerja tanpa lelah. ‘Pada tahun 2003, Kofi Annan, melalui Ketua Millennium Campaign Eveline Herfkens, meminta saya untuk menjadi Duta Besar Khusus PBB di Asia Pasifik untuk Millennium Development Goals, sebuah jabatan yang saya pegang hingga tahun 2007. Peran ini mempertajam pemahaman saya akan keterkaitan keberlanjutan antara global dan lokal.’ Bersamaan dengan ini, setahun kemudian ia ditunjuk sebagai anggota Komisi Dunia Pemberdayaan Hukum bagi Masyarakat Miskin pada tahun 2009, serta berbagai Komisi Dunia lainnya.
Ketika ditanya terkait peran barunya sebagai anggota Komite Penasehat Pemangku Kepentingan (SAC) APRIL, ia yakin bahwa ini adalah tugas berbentuk baru untuknya. ‘Ini adalah langkah yang tidak biasa bagi saya’ ujarnya. ‘Saya tidak pernah menjabat posisi didalam lingkungan bisnis, mungkin karena resikonya juga. Namun, pemahaman saya dalam pembangunan berkelanjutan mengajarkan saya, bahwa masyarakat tidak bisa mencapai tujuannya sendiri. Masyarakat perlu kemitraan. Sektor swasta harus menjadi bagian besar dari solusi. Semakin besar sebuah bisnis memiliki aktivitas operasional yang dapat merusak lingkungan dan semakin besar jejak ekologisnya, maka semakin besar kontribusinya terhadap perbaikan dan pemulihan lingkungan. Masyarakat bisa melakukan bagiannya – mendaur ulang, mengkonsumsi secara berkelanjutan – dan pemerintah dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Namun, bisnis-lah yang mampu membuat perubahan yang signifikan di lapangan. Perubahan harus melalui pemberdayaan dan pembangunan, tidak hanya bersifat amal. Saya memiliki hasrat yang kuat untuk membantu sesama dan bekerjasama dengan mereka untuk membuat sebuah perubahan dengan terjun langsung ke lingkungan yang tidak familiar. Betul, ini adalah sebuah tantangan, namun saya berharap saya bisa membuat sebuah perubahan.’
Tidak takut pada tantangan, Erna terus menjabat beberapa posisi kepemimpinan LSM, termasuk KEHATI dan Filantropi Indonesia. Dia tidak melihat adanya alasan untuk berhenti. ‘Saya melihat harapan di masa yang akan mendatang’ tambahnya. ‘Seluruh hidup saya telah saya curahkan untuk mendorong wanita dan orang muda untuk memimpin. Saya sangat bahagia ketika upaya saya ini membuahkan hasil. Sekarang begitu banyak dari mereka mengambil tantangan untuk masa yang akan datang, saya yakin ada harapan yang baik. Anak-anak kita ternyata lebih baik dari kita. Pemikirannya sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Diharapkan anak cucu kita akan mewariskannya ke generasi selanjutnya. Mereka peduli, mereka berhasrat, mereka lebih mahir dalam berkomunikasi, dan mereka lebih berpengaruh. Ya, saya punya harapan.’