Jembatan Antara Kebudayaan dan Bentang Alam
Al Azhar adalah seorang akademisi yang memiliki ketertarikan besar terhadap tradisi lisan dan pembelajaran yang terkandung di dalamnya, tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam
Tradisi lisan Melayu kaya akan makna. Di antaranya adalah pantun, yang memiliki kesamaan dengan Haiku Jepang, disusun berdasarkan fromula baku – berupa sajak empat baris, dibacakan dengan ritme yang sama, dengan delapan hingga 12 suku kata di setiap barisnya, baris pertama dan ketiga serta baris kedua dan keempat memiliki rima yang sama. Pantun adalah perandaian. Bagi yang tidak mengerti, makna pantun mungkin terlihat kabur. Namun bagi Al Azhar, pantun adalah seni pengungkapan hubungan manusia dengan alam, termasuk keterkaitan antara keduanya.
“Saya menemukan hakikat ekologis dalam sastra lisan. ‘Ketika saya masih kecil, di sekolah, saya belajar sastra pada seseorang yang inspiratif. Orang tersebut membuat saya mengerti, bahwa sastra adalah sebuah pintu menuju kebebasan dalam berpikir.’ Kemudian, ketika saya beranjak dewasa, saya menyadari bahwa satra juga membawa pada penjara lain, yaitu: ilmu pengetahuan.
Al Azhar tidak memisahkan antara sastra dan konservasi hutan, sebuah jembatan yang tidak biasa untuk dilalui, namun yang telah memberinya sebuah perspektif khas pada perannya sebagai salah satu anggota Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (Stakeholder Advisory Committee, SAC) APRIL.
‘Saya percaya bahwa lingkungan hidup saat ini tengah berada dalam krisis’, lanjutnya. “Dan saya percaya bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah kerusakan budaya, kerusakan jiwa, pikiran, dan peradaban. Karena hal tersebutlah maka saya memutuskan untuk bergabung dengan grup ini – karena saya ingin membantu memulihkan sebagian kecil dari kerusakan ini, dan saya percaya bahwa perusahaan ini berupaya membuka jalan untuk perubahan yang diperlukan.’
Al Azhar lahir di sebuah desa kecil, Kampung, di Riau, dan bersekolah di sekolah terdekat. Kanan-kirinya hutan, dan seperti anak seusianya, ia sering keluar-masuk hutan. ‘Alam’ sangat melekat pada dirinya sejak masih kanak-kanak. Dengan kemampuan akademisnya, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Riau untuk belajar Sastra Indonesia.
‘Dalam budaya Melayu, ‘sejarah tidak hanya ditulis seperti dalam perspektif budaya Barat, namun juga dituturkan dan dilantunkan dalam bentuk puisi, kisah-kisah, dan nyanyian pengantar tidur.’ Di sinilah saya menemukan kecintaan pada pantun, dan sejak itu ketertarikan saya terhadap tradisi lisan Melayu berkembang. Saya yakin bahwa saya merasakan hubungan antara ketertarikan saya terhadap tradisi lisan tersebut dan lingkungan masa kecil saya. Kebanyakan pantun menyajikan hubungan intrinsik antara manusia, masyarakat, lingkungan, dan dunia sebagai semestanya. Di dalam sastra lisan terkandung ajaran mengenai bagaimana bentang alam dapat dikelola, sehingga tercipta sebuah keseimbangan antara manusia dan alam, dan manfaat atas keduanya. Kita sepertinya telah kehilangan pengetahuan itu.’
Setelah menyelesaikan pendidikannya dia mengajar Sastra di Pekanbaru. Pada tahun 1989 dan telah menikah, ia mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studi magisternya di Universitas Leyden, Belanda. ‘Saya masih ingat musim dinginnya yang menggigilkan’, ujarnya. Ia belajar di Jurusan Sastra Asia Tenggara dan Oseania, salah satu dari dua orang Indonesia di Fakultas Sastra. Setelah meraih gelar magisternya, ia kemudian mengajar mata kuliah bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu; dan sastra Indonesia modern dan klasik. Al Azhar menetap di Belanda selama empat tahun dan mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studi doktornya, namun eskalasi politik di Indonesia memaksanya kembali ke Pekanbaru. Ia pun melanjutkan penelitiannya mengenai tradisi lisan Melayu’.
Al Azhar percaya bahwa pemahaman tentang perbedaan antara sastra lisan dan tulisan membuka matanya kepada ekologi tempat sastra itu tumbuh. ‘Sastra lisan tidak dapat dipisahkan dari hutan dan masyarakat. Jika kamu mendengarkan cerita lisan, kamu akan mendengar dan melihat pepohonan, burung-burung, bunga-bunga, manusia, sebagai kesatuan. Sastra tulisan tidak memilikinya.’
Sastra lisan penuh dengan perandaian. ‘Bumi bukan sekedar tanah, namun seorang ibu’ ucapnya. ‘Langit adalah perwakilan seorang ayah. Pohon adalah jembatan di antara keduanya. Saya pikir, permasalahan lingkungan di Indonesia saat ini tidak hanya soal ‘berapa banyak’ atau ‘berapa luas’, namun lebih tentang kehilangan hubungan antara hutan dan lingkungannya yang lebih luas.
Ia percaya bahwa kebijakan terdahulu telah membawa kerusakan meluas atas sumber daya alam demi kepentingan perbaikan ekonomi. Sebuah tujuan yang mulia, namun dilakukan dengan cara yang salah. ‘Permasalahannya adalah bahwa pemerintah merasa akan ada dampak positif dari perusahaan besar yang memanfaatkan sumber daya alam negeri ini, namun hal tersebut tidak berlaku seperti yang diharapkan karena kegagalan pemerataan kesejahteraan yang lebih baik.’
Al Azhar, yang pada dasarnya adalah seorang akademisi dan seorang religius, mengambil langkah yang tidak biasa dengan bergabung pada sebuah badan penasihat karena Al Azhar percaya dapat memberikan sebuah perspektif yang berbeda untuk dicermati. ‘Saya ingin melihat apakah saya dapat mengarahkan mereka untuk memberikan akses lebih luas kepada masyarakat. Orang-orang bergabung dalam perusahaan besar untuk mewujudkan keinginan memperbaiki taraf kehidupan. Saya merasa diberi peluang untuk membantu perusahaan yang menurut saya dapat memberikan sejumlah perubahan yang diperlukan.’
Ia juga seorang realis. Ia menerima kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar tidak akan menghilang begitu saja. ‘Kami tidak dapat hidup di dunia dengan kepura-puraan dan menganggap semua akan baik-baik saja jika mereka (perusahaan besar) tidak ada. Pilihan terbaik kita adalah membantu mereka berubah, jika mereka memiliki niat untuk melakukannya. Mungkin sebagai seorang anggota SAC, saya dapat menyumbangkan ide-ide untuk membantu perusahaan menuju ke arah yang saya rasa benar. Mayoritas dari apa yang kita diskusikan dalam dunia lingkungan hidup yang lebih luas adalah tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Suatu bisnis usaha harus bergerak selaras dengan lingkungan hidupnya, termasuk orang-orang yang bekerja di dalamnya, masyarakat sekitar, dan bentang alam tempatnya berada dan bergantung.
Al Azhar adalah seorang yang optimis. Ketika ia menyadari dinamika antara bisnis dan lingkungan merupakan hal yang menuntut kesabaran, dan diperlukan dukungan kebijakan publik, ia percaya bahwa perubahan dan realisasi sedang berjalan. ’Pertanyaannya adalah, seberapa cepatkah? Saat ini saya rasa langkahnya melambat, namun saya berharap akan ada kemajuan. Saya yakin, harus ada kemajuan.’
Sungai Dua di atas bukit
Elang bersarang di kuala
Bulan dua sekali terbit
Pilih yang terang cahayanya