Joe Lawson, Ketua Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) APRIL
Karir Lawson beriringan dengan munculnya konsep berkelanjutan sebagai sebuah wadah sosial, politik, dan pada akhirnya bisnis. Mulanya, ia bekerja pada bagian kepatuhan regulasi – yang kini dilihat sebagai unsur dasar pengelolaan hutan berkelanjutan.
Karirnya berlanjut ke bidang sertifikasi, sejak 1994, ketika ia mengetuai beberapa komite untuk merevisi dan meningkatkan standar-standar. Hal tersebut juga menyebabkan ia berhubungan dengan brand-brand ternama, produk retail seperti Coca Cola dan L’Oreal – di mana ia diminta untuk membuat skema keberlanjutan bahan baku yang dijual oleh perusahaannya.
“Dalam pengalaman saya, kita telah beranjak dari izin politik untuk beroperasi kepada upaya untuk memperoleh izin social. Bagi saya, sertifikasi merupakan kemajuan yang luar biasa karena hal tersebut merangkul setiap aspek bekerlanjutan. Bisnis perlu mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan eksternal, termasuk organisasi lingkungan dan LSM. Sejujurnya, beberapa perubahan yang paling signifikan dalam praktik-praktik kehutanan sebagian besar dipengaruhi oleh kampanye LSM.”
“Saya masih dapat mengingat betapa tingginya tensi dalam rapat ketika kami bertemu dengan LSM untuk memahami cara terbaik dalam memadukan aspek-aspek yang mereka yakini dengan praktik bisnis. Kami secara drastis mengurangi ukuran panen kayu dan mengikut sertakan berbagai masukan dari masyarakat, ke dalam rencana pengelolaan kami.
“Pada sisi lain, kami sadar bahwa hutan tidak akan dikelola dengan baik tanpa sejumlah bentuk timbal balik ekonomi. Kesimbangan harus dicapai.”
Pekerjaan Lawson kemudian membawanya berkeliling dunia yang membuatnya memperhatikan praktik perusahaan kayu di Cina, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan. Dia mulai aktif dalam World Business Council for Sustainable Development; peran ini kemudian berevolusi menjadi peran dimana ia bekerjasama dengan WRI untuk menyusun pedoman terkait pengadaan berkelanjutan.
Saat ia bekerja dengan WBCSD di Eropa yang membuatnya mengenal APRIL, dan setelah pensiun dari Mead Corporation di AS, ia diminta untuk mempertimbangkan upaya pembentukan dan mengetuai sebuah inisiatif penasihat pemangku kepentingan eksternal untuk perusahaan.
“Awalnya saya ragu,” ujarnya. “Namun pada akhirnya saya yakin bahwa APRIL tulus dalam menjawab berbagai kekhawatiran saya, termasuk memastikan independensi komite dan juga komitmen kuat dari para manajemen senior. Pekerjaan dengan APRIL berfokus pada isu-isu keberlanjutan pada sektor kehutanan di Indonesia.
“Indonesia telah lama menjadi fokus LSM global dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial”, kata Lawson. “Dan ya, terdapat dampak dari alih fungsi hutan yang luas, perusakan habitat dan fauna, juga penggunaan yang tidak tepat dari salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, lahan gambut yang membentang luas di negara itu. Jadi, saya mengerti.”
“Namun, mudah bagi masyarakat global untuk mengkritisi cara Indonesia berkembang – dan sering tidak peduli dalam menuntut perubahan. Faktanya, permasalahan Indonesia rumit dan agar solusi yang diterapkan berdampak jangka panjang, maka harus didorong oleh aktor-aktor lokal dan nasional. Tentunya, terdapat banyak hal yang bisa dipelajari dari keselahan-kesalahan yang dilakukan dunia barat pada masa lalu selama berabad-abad. Yang mesti diakui dari Indonesia adalah keinginannya untuk berinteraksi dan mencari saran dari para ahli eksternal.”
“Menurut pandangan saya, rintangan utama dalam menerapkan solusi berkelanjutan bagi sebagian besar permasalahan sumber daya alam di Indoensia adalah pengentasan kemiskinan. Apabila angka kemiskinan tidak dapat ditekan, penerapan praktik-praktik berkelanjutan yang lebih baik akan menjadi sulit, bakhan tidak mungkin. Dapat dipahami bahwa bagi banyak orang, tujuan utama mereka adalah menafkahi keluarganya dan menciptakan kesejahteraan untuk anak-anaknya. Alih fungsi hutan misalnya, dipandang memiliki dampak ekonomi yang lebih baik dan cepat dibanding upaya konservasi.
Meskipun terdapat peluang untuk perbaikan, APRIL telah lama mengutamakan pada perbaikan kesejahteraan masyarakat. Tantangannya bukan hanya meningkatkan program-program yang dilakukan perusahaan seperti APRIL tetapi juga mengupayakan agar perusahaan-perusahaan lain yang beroperasi di Indonesia untuk memprioritaskan kesejahteraan masyarakat.
“Namun, saya optimis. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam, dan ini dapat menjadi sumber pemasukan, jika alternatif praktik yang berkelanjutan menjadi menarik bagi masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya yang terdampak. Terdapat peningkatan luar biasa dalam produktivitas yang telah meningkatkan hasil panen dari perkebunan dan dapat mengurangi tekanan terhadap hutan alam. Dalam sektor pertanian global, perbaikan teknologi tanam, jenis makanan, dan sistem pertanian tengah dikembangkan agar dapat lebih efisien dalam menyediakan sumber daya sekaligus melestarikan alam. Dalam banyak hal, Indonesia dan lebih luas lagi Asia Tenggara, memiliki peluang untuk menjadi yang terdepan dalam teknologi yang saat ini tengah berkembang.”
Lawson percaya bahwa peluang tersebut nyata untuk menjadikan Indonesia secara tegas sebagai pemimpin global dalam produksi hasil hutan. Ia menunjukan pada disparitas, misalnya antara AS dan pabrik hasil hutan Indonesia, menekankan bahwa pabrik-pabrik di AS sebagai besar sudah sangat tua, membutuhkan modal investasi dalam jumlah besar, dan memiliki tenaga kerja yang relatif lebih mahal, sementara di Indonesia lebih baru, modern dan maju secara teknologi.
Lawson menambahkan, “dalam perkembangan global saat ini, terdapat tanggung jawab sosial dan lingkungan. APRIL berada di dalam tekanan untuk meningkatkan praktik berkelanjutan dan transparansi. Saya yakin hal ini akan dilakukan. Manajemen APRIL terlihat berkomitmen dan sesungguhnya, para pemangku kepentingan eksternal menuntut hal ini.
“Namun, perkembangan terjadi secara bertahap,” katanya. Alih fungsi lahan ilegal dan perambahan terus menjadi masalah mendesak bagi Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, saya yakin bahwa kalangan usaha dan para pemangku kepentingan terdampak, harus terus bekerja dengan pemerintah dan mengidentifikasi cara-cara agar lebih secara efektif mengontrol alih fungsi penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan.”
Pada tingkat global, Lawson juga optimis. “Diperkuat dengan komunikasi yang jauh lebih baik, termasuk media sosial, generasi mendatang memiliki perspektif yang jauh lebih global tentang masalah ini dibanding generasi saya.” Ia melihat generasi mendatang sebagai generasi yang akan mengambil pelajaran dari pengalaman yang ada – di mana pemahaman lingkungan lahir dan bertumbuh. “Saya berkeyakinan anak-anak kita akan memulai proses baru yang radikal,” katanya.
“Menurut saya, arahan kebijakan dan keputusan akan lebih didorong oleh pemikiran independen dibanding tekanan dari organisasi-organisasi yang telah lama berdiri. Saya yakin perkembangan ini akan meningkat dan generasi baru akan menunjukan bahwa teknologi, sains, dan gagasan-gagasan baru akan tumbuh seiring dengan manfaat ekonomi.”