Memahami Pendekatan Bentang Alam
Pendekatan Bentang Alam terus menjadi teori yang berkembang terkait perencanaan penggunaan dan pengelolaan lahan dengan pandangan terintegrasi dan holistik akan manusia dan ekosistem alam yang saling bergantung.
Memahami bahwa lahan tidak dapat dikonservasi secara terpisah, pendekatan ini menawarkan proses untuk menemukan keseimbangan antara konservasi, pemanfaatan sumber daya alam, dan peningkatan kesejahteraan manusia dengan melaksanakan pertanian berkelanjutan, produksi kehutanan dan konservasi sumber daya alam.
Pada September tahun ini, 34 praktisi konservasi dan restorasi berkumpul di Desa Setulang, Kalimantan Utara untuk bertukar pengalaman dan tantangan dalam acara ‘Learning from Landscapes Paractitioners Retreat’ yang difasilitasi oleh Yayasan Tanah Air Beta dan James Cook University.
Dengan tim yang berlokasi di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, Tanah Air Beta berperan sebagai wadah untuk berbagi teknik ilmiah dan pengetahuan untuk mencapai tujuan-tujuan konservasi pada tingkat bentang dalam dan bentang laut sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat di area hutan terpencil dan pesisir. Di Indonesia, pengembangan kemitraan telah dimulai di Sumatera, Kalimatan Barat, Kalimanatan Timur, Sulawesi Utara, Flores, Lombok, dan Papua Barat.
Dengan Metode Q, sebuah sistem untuk mengidentifikasi perspektif-perspektif sosial dalam penelitian lingkungan, para peserta mengukur faktor-faktor yang menghambat bentang alam di Indonesia berfungsi optimal, sekaligus mendiskusikan apa yang membedakan Pendekatan Bentang Alam dengan metodologi-metodologi lainnya.
Dalam pertemuan selama lima hari di Desa Setulang, anggota dari Restorasi Ekosistem Riau (RER) mempresentasikan studi kasus yang diambil dari pengalaman tim dalam mengelola dan merestorasi 150,000 hektar hutan gambut di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, Riau, Indonesia.
Diprakarsai oleh APRIL pada tahun 2013, RER adalah salah satu program restorasi tingkat bentang alam terbesar di Asia Tenggara. Dengan lokasi restorasi yang dikelilingi oleh area produksi untuk meminimalkan perambahan yang mengancam hutan gambut yang penting secara ekologis, RER menggunakan model konservasi dalam empat fase: melindungi, menilai, merestorasi, dan mengelola.
Bradford Sanders dari RER mengatakan bahwa timnya mendapatkan banyak manfaat dari pelajaran yang didapatkan dari para peserta retret.
“Tantangan utama bagi pengelolaan Restorasi Ekosistem di lapangan adalah untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan dari masyarakat lokal dan pemangku kepentingan eksternal mengenai kebutuhan untuk melindungi, merestorasi, dan mengkonservasi keanekaragaman hayati di hutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan manusia, tanpa mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan. Mencapai keseimbangan adalah kunci dari tantangan ini.”
Studi kasus Pendekatan Bentang Alam tambahan yang dipresentasikan pada Retret ini antara lain:
- Hutan Penelitian Bulungan oleh CIFOR di Malinau
- Program REDD Tanjabar oleh ICRAF
- Sejumlah program Hutan Mbeliling dan Hutan Harapan oleh Burung Indonesia
- Program Gorontolo oleh Burung Indonesia
- Program Orangutan di Ketapang oleh Fauna & Flora Indonesia
- Program Sembilang oleh Zoological Society of London
Mahasiswa pascasarjana dari James Cook University yang turut menghadiri retret akan menganalisis lebih lanjut data yang dihimpun, dengan rencana mempublikasikan hasilnya.
“Banyak orang mengharapkan pendekatan-pendekatan bentang alam dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi pengelola sumber daya alam di Indonesia,” ujar Dr. Jeff Sayer, Profesor dari James Cook University.
“Kami harus berbagi pembelajaran dan menemukan panduan praktik-praktik terbaik untuk memastikan bahwa kita semua dapat memenuhi ekspektasi yang ada.”
Retret Pendekatan Bentang Alam berikutnya dijadwalkan berlangsung pada tahun 2018 di Restorasi Eksosistem Riau.